Oleh: Wilson Lalengke
ICJN, Sorong – Kualitas dan kapasitas para oknum polisi di Polres Sorong Selatan dan Polda Papua Barat Daya benar-benar memprihatinkan. Pengetahuan, pemahaman, dan logika hukum mereka memang jeblok, pake banget! Bagaimana tidak, berkas eksepsi atau jawaban atas gugatan praperadilan yang diajukan masyarakat adat, Yesaya Saimar, terkesan asal njeplak tanpa menggunakan pola pikir “orang waras” dan berakal sehat.
Berita terkait praperadilan yang diajukan Yesaya Saimar melalui kuasa hukumnya, Advokat Simon Maurits Soren, S.H., M.H. dan Advokat Bambang Wijanarko, S.H. dapat disimak di sini:
Bertindak Sewenang-wenang terhadap Masyarakat Adat, Polres Sorong Selatan dan Polda Papua Barat Daya Digugat Praperadilan (https://pewarta-indonesia.com/2025/10/bertindak-sewenang-wenang-terhadap-masyarakat-adat-polres-sorong-selatan-dan-polda-papua-barat-daya-digugat-praperadilan/)
Beberapa poin dalam eksepsi dimaksud yang terang-benderang disusun tanpa didasari pengetahuan dan pemahaman hukum yang memadai, antara lain: pertama, termohon praperadilan Polres Sorong Selatan dan Polda Papua Barat Daya serta-merta menyatakan bahwa gugatan pemohon praperadilan tidak sempurna, kabur, dan tidak jelas alias _obscuur libel_. Artinya, para oknum polisi yang menjadi kuasa hukum instansinya beranggapan bahwa gugatan praperadilan atas kekeliruan penyidik melakukan penyitaan barang bukti dianggap salah. Pernyataan tersebut mereka dasarkan pada Pasal 77 KUHAP.
Aneh bin ajaib, dalam berkas eksepsinya, pihak tergugat justru mencantumkan dengan jelas tentang isi Pasal 77 tersebut sebagaimana tertulis: “Obyek praperadilan diatur secara limitatif (terbatas) dalam Pasal 77 KUHAP, yang meliputi: (•) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (•) Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan; (•) Sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan (berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014)”.
Sesuatu yang mengherankan jika para penyusun eksepsi yang semuanya bergelar sarjana hukum ini tidak melihat relevansi gugatan praperadilan terhadap tindakan penyitaan bangkai kapal tongkang yang merupakan barang bukti adanya dugaan pelanggaran hukum, baik pidana ataupun perdata. Dari uraian di eksepsi itu terlihat jelas bahwa penyitaan juga masuk ranah praperadilan. Lantas publik bertanya, obscuur libel-nya dimana, bro? Waras Anda?
Kedua, Polres Sorong Selatan dan Polda Papua Barat Daya ngotot menyatakan bahwa PN Sorong tidak berwenang mengadili permohonan praperadilan dari pemohon dengan alasan bahwa proses yang sedang dilakukan penyidik saat ini adalah pada tahap penyelidikan, bukan penyidikan. Lagi-lagi kita dipertontonkan kedunguan akut alias bungul, meminjam istilah Bahasa Banjar untuk kata t0lol berat, para oknum aparat di kedua unit bawahan Mabes Polri itu. Padahal pemohon praperadilan hanya mempersoalkan masalah penyitaan bangkai kapal tongkang yang dijadikan jaminan oleh masyarakat adat sampai batas waktu pihak terhutang, PT. Mitra Pembangunan Global, melunasi hutangnya. Penggugat tidak menyinggung sama sekali soal-soal di luar masalah penyitaan dan penguasaan barang yang dilakukan penyidik secara tidak prosedural.
Ketiga, Polres Sorong Selatan dan Polda Papua Barat Daya sebagai tergugat menyatakan bahwa pihak penyidik tidak melakukan penyitaan, yang oleh karena itu mereka belum perlu menerbitkan surat penyitaan barang. Mereka berdalih bahwa yang dilakukan terhadap bangkai kapal tongkang tersebut hanya diambil dan dititipkan di (galangan kapal tanpa izin) Mapolda Papua Barat Daya. Alibi ini benar-benar konyol. Bagaimana mungkin aparat hukum mengambil barang milik warga, terlepas dari siapa pemilik sah atas barang tersebut, dengan cara yang tidak prosedural, tidak sesuai aturan hukum yang berlaku?
Jangan salahkan publik jika berpendapat bahwa dalam kasus tersebut Kapolres Sorong Selatan, Gleen Rooy Molle; Kepala Satuan Reserse Kriminal Umum Polres Sorong Selatan, Calvin Reinaldi Simbolon; Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Polres Sorong Selatan, Abdul Karim; serta Direktur Kriminal Umum Polda Papua Barat Daya, Junov Siregar, sangat patut diduga telah melakukan tindak kriminal pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP.
Kasus ‘bangkai kapal tongkang’ ini telah menarik perhatian publik secara nasional karena terkait kinerja institus Polri yang sangat tidak professional dan dicemooh masyarakat dimana-mana sehingga banyak pihak mengusulkan agar lembaga penegak hukum yang satu itu dibubarkan saja. (*)
Penulis adalah Aktivis HAM dan Petitioner at Fourth Committee of the United Nations 2025

 


 
 
 
																				 
 
 









































Komentar