Persoalan Tambang di Aceh, Lepas dari Mulut Buaya Diterkam Mulut Harimau

Opini155 Dilihat
banner 468x60

Filsuf ekonomi Mohammad Hatta pernah menulis bahwa demokrasi ekonomi hanya mungkin hidup bila rakyat diberi ruang untuk mengelola sumber daya secara bersama dan berkeadilan. Tanpa itu, kekayaan alam hanya akan menjadi alat pemerasan oleh segelintir orang. Pandangan itu kini terasa sangat relevan bagi Aceh, di mana rakyat yang menjaga alam justru disingkirkan dari haknya sendiri.

Dampak dari ketimpangan pengelolaan tambang bukan hanya sosial, tetapi juga ekologis. Kajian WALHI Aceh tahun 2023 mencatat, laju deforestasi akibat tambang besar di wilayah tengah dan barat Aceh mencapai 8.000 hektar per tahun. Kerusakan ini memperparah banjir dan longsor yang kini kerap melanda wilayah pesisir selatan. Ironisnya, mereka yang menjadi korban bencana adalah rakyat yang sama yakni penambang kecil, petani, dan nelayan yang kehilangan lahan dan mata pencaharian.

banner 300250

Rakyat Aceh tidak membutuhkan investor yang datang dengan janji-janji manis dan surat izin yang dirangkai pemerintah. Mereka butuh pemerintah yang berpihak, yang menyiapkan WPR, yang mendampingi koperasi, dan yang melibatkan universitas atau asosiasi untuk mengembangkan teknologi pengolahan emas ramah lingkungan. Mereka tidak menuntut bagian dari saham tambang, mereka hanya ingin kesempatan untuk hidup dari tanah sendiri, tanpa takut ditangkap atau diusir.

BACA JUGA :  Negara Tak Boleh Kalah: Pakta Integritas Timah Belitung Harus Jadi Titik Balik Lawan Mafia Tambang

Persoalan tambang di Aceh sejatinya adalah cermin dari ketimpangan kekuasaan. Ketika pejabat dan investor berdiri di satu sisi, dan rakyat di sisi lain, maka hukum dan kebijakan hanyalah alat untuk memperkuat yang kuat dan menyingkirkan yang lemah. Jika arah ini tidak segera dikoreksi, maka Aceh akan kembali terjebak dalam lingkaran kutukan sumber daya alam, kaya bahan tambang, tapi miskin keadilan.

BACA JUGA :  Sorotan Publik: Polisi Presisi Memberantas segala Kejahatan, Bukan Melakukan Tindak Kejahatan yang Memalukan Institusi Polri

Sudah saatnya Pemerintah Aceh mengembalikan makna sejati dari otonomi, kekuasaan untuk memperjuangkan rakyat, bukan memperdagangkannya. Moratorium izin bagi investor besar harus dilakukan, sambil mempercepat penetapan WPR dan penguatan BUMD. Hanya dengan itu Aceh dapat keluar dari jerat buaya dan harimau yang selama ini menghisap kekayaannya.

BACA JUGA :  Pemerhati Intelijen : Aceh Harus Menemukan Jalan Tengah antara Hukum dan Perut Rakyat

Rakyat Aceh sudah terlalu lama menunggu keadilan. Mereka tidak ingin perang baru, mereka hanya ingin kejujuran dari pemimpin yang mereka percayai. Karena perdamaian sejati tidak lahir dari senjata yang diam, melainkan dari keadilan yang hidup. Jika kekuasaan kembali berpihak kepada segelintir orang, maka sejarah akan menulis bahwa setelah lepas dari mulut buaya konflik, Aceh benar-benar diterkam oleh mulut harimau kekuasaan ekonomi.

Komentar