Persoalan Tambang di Aceh, Lepas dari Mulut Buaya Diterkam Mulut Harimau

Opini153 Dilihat
banner 468x60

Fakta ini menunjukkan bahwa politik tambang di Aceh masih dikendalikan oleh pola lama, izin sebagai alat kekuasaan, dan kekuasaan sebagai alat barter ekonomi. Dalam banyak kasus, rakyat justru menjadi korban dari dua sisi, di satu sisi mereka dikriminalisasi karena dianggap menambang ilegal, di sisi lain mereka disingkirkan oleh korporasi besar yang datang membawa kekuasaan dan modal.

Padahal, arah kebijakan nasional sudah berubah. Presiden Prabowo Subianto melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 menegaskan bahwa sektor pertambangan harus diprioritaskan untuk koperasi, BUMD, dan ormas yang didampingi oleh universitas. Semangat kebijakan ini selaras dengan Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

banner 300250

Namun implementasi di Aceh berjalan terbalik. Pemerintah daerah justru memberi ruang luas dan karpet kepada investor besar, sementara hak rakyat untuk mengelola tambang melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) nyaris tidak disentuh. Hingga kini, pemerintah belum juga menetapkan WPR di Aceh Selatan, Aceh Barat, dan kabupaten lain, meski ribuan penambang rakyat telah lama menggantungkan hidup di sektor itu.

BACA JUGA :  Terkait Gugatan Praperadilan terhadap Polisi di PN Sorong, Eksepsi Tergugat Ngawur bin Bungul

Data Kementerian ESDM tahun 2024 menunjukkan bahwa dari total 96 izin tambang di Aceh, lebih dari 70 persen dikuasai oleh perusahaan non- lokal. Hanya sebagian kecil yang melibatkan koperasi atau BUMD. Sementara lebih dari 5.000 penambang rakyat masih bekerja di area tambang tradisional tanpa izin resmi. Ketimpangan ini menjadi bukti nyata bahwa narasi “investasi untuk rakyat” belum pernah benar-benar menyentuh rakyat.

BACA JUGA :  Ketika Kepolisian Daerah Bangka Belitung Ketakutan Terhadap Bandit dan Implikasinya bagi Masyarakat

Kondisi ini memperlihatkan paradoks otonomi Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan luas untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. Namun kewenangan itu justru sering disalahgunakan, berubah menjadi alat kompromi politik antara elit lokal dan korporasi besar. Kedaulatan Aceh atas sumber daya alam, yang seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, kini hanya menjadi simbol tanpa makna.

BACA JUGA :  Dugaan Gugatan Tanah Palsu oleh PT. Bagus Jaya Abadi di PN Sorong, Sebuah Analisis Hukum

Dari sisi etika pemerintahan, penggunaan nama pejabat untuk melicinkan izin tambang bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap prinsip good governance. Pemerintah seharusnya menegakkan asas transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada kepentingan publik. Jika kekuasaan digunakan untuk memberi karpet merah bagi oligarki, maka rakyat akan kembali merasa ditipu oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Komentar