Pemerhati Intelijen : Aceh Harus Menemukan Jalan Tengah antara Hukum dan Perut Rakyat

Opini93 Dilihat
banner 468x60

Sri Radjasa juga mengingatkan bahwa waktu menuju target bebas merkuri tinggal dua tahun. Jika pemerintah tidak segera menyediakan teknologi pengganti, masyarakat pasti akan kembali menggunakan merkuri secara sembunyi-sembunyi. Karena itu, ia mengusulkan agar Pemerintah Aceh meluncurkan program “Aceh Bebas Merkuri 2025” yang mencakup edukasi bahaya merkuri, penerapan teknologi alternatif, serta pemberian insentif bagi kelompok penambang yang beralih ke metode ramah lingkungan. “Pendekatan edukatif lebih efektif dari sekadar larangan. Di banyak negara penandatangan Konvensi Minamata, hasilnya terbukti,” ujarnya.

BACA JUGA :  Saat Pena Tak Lagi Menulis dengan Nurani

Sebagai pemerhati intelijen, Sri Radjasa juga menekankan pentingnya pembentukan tim terpadu pengelolaan pertambangan rakyat Aceh yang melibatkan unsur pemerintah, ESDM, lingkungan hidup, akademisi, APRI, dan tokoh masyarakat. Menurutnya, pendekatan multidisipliner menjadi kunci agar kebijakan tambang rakyat tidak hanya legal secara hukum, tetapi juga adil secara sosial. “Tambang rakyat adalah ekosistem sosial. Ia tidak bisa dikelola dengan logika pidana semata,” tegasnya.

banner 300250

Di akhir pernyataannya, Sri Radjasa menilai kebijakan Gubernur Mualem menghentikan tambang ilegal tetap patut diapresiasi karena berpihak pada penegakan hukum dan kelestarian alam. Namun, katanya, hukum tanpa keadilan sosial akan kehilangan makna. “Negara harus menjadi jembatan antara hukum dan perut rakyat, bukan tembok di antara keduanya. Penertiban tambang ilegal memang perlu, tapi yang lebih penting adalah memberi rakyat jalan yang legal untuk hidup,” pungkas penulis buku berjudul “Intel Juga Manusia” tersebut. ( red )

Komentar