Integritas sebagai Pilar Tata Kelola
Integritas menjadi kata kunci yang paling ditekankan dalam narasi perbaikan tata kelola. Dalam hukum administrasi negara, integritas pejabat publik dan entitas negara—dalam hal ini PT Timah Tbk sebagai BUMN pemegang IUP—harus dilihat sebagai instrumen yang membentuk akuntabilitas dan transparansi.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara jelas mengatur pentingnya optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor tambang.
Apabila praktik penyelundupan terjadi, maka bukan hanya menghilangkan potensi PNBP, tapi juga melanggar Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena mengarah pada kerugian negara yang disengaja melalui persekongkolan atau pembiaran.
Celakanya, para pelaku penyelundupan kerap berlindung pada celah-celah hukum. Misalnya dengan memanfaatkan ketidaktegasan dalam pengelolaan wilayah non-IUP atau bermain di ranah abu-abu regulasi.
Oleh sebab itu, hadirnya aparat penegak hukum (APH) seperti kejaksaan dalam barisan pengawasan adalah bukti bahwa negara mulai menutup celah tersebut. Kolaborasi ini sangat penting untuk menyeimbangkan kekuatan legal formal dan kekuatan kontrol teknis di lapangan.
PT Timah, sebagai representasi negara di sektor tambang, tak bisa dibiarkan berjalan sendirian. Dukungan KSOP, Dinas Perhubungan, dan Pelindo bukan hanya soal administratif, tapi soal keberpihakan terhadap sistem ekonomi nasional yang adil dan berkelanjutan.
Mengangkat Martabat BUMN dan Masyarakat Lokal
Salah satu tantangan terbesar sektor timah hari ini adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap tata kelola pertambangan, pasca terkuaknya mega korupsi pertimahan pada tahun 2024. Maka, upaya PT Timah melakukan pembenahan internal dan eksternal harus mendapat penguatan dari seluruh elemen negara, termasuk pers, masyarakat sipil, dan terutama aparat penegak hukum.
Keberhasilan perbaikan tata kelola akan bermuara pada dua hal: meningkatnya penerimaan negara dan terciptanya ekosistem pertambangan yang legal, tertib, dan inklusif. Penambang rakyat, misalnya, harus diberikan ruang legal melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar mereka tidak terus-menerus menjadi obyek kriminalisasi atau dimanfaatkan sebagai tameng mafia. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membuka ruang bagi negara untuk menetapkan WPR dan menjadikannya bagian dari rantai legal produksi tambang nasional.














































Komentar