Menyingkap Strategi Jokowi untuk Merebut Kembali Supermasi Dinasti Solo

Artikel, Opini41 Dilihat
banner 468x60

Opini

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

banner 336x280

ICJN, Aceh – Dalam panggung politik Indonesia, nama Joko Widodo tidak sekadar identik dengan kepemimpinan pragmatis dan populer, tetapi juga dengan kemampuan membangun jaringan kekuatan politik yang terstruktur dan terukur. Analisis Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) mengungkap dimensi strategis di balik keberhasilan Jokowi membangun dan mempertahankan supremasi politik Solo, yang kini tampak berlanjut melalui pemenangan Gibran. Fenomena ini menarik, karena menyentuh tataran politik personal, jaringan sosial, dan kontrol institusi formal yang merupakan satu paket yang mampu mengokohkan posisi Jokowi selama lebih dari satu dekade.

Secara historis, Solo menjadi laboratorium politik Jokowi. Di kota ini, ia tidak hanya membangun basis elektoral tetapi juga jaringan loyalitas yang melekat dalam struktur pemerintahan, keamanan, dan sosial. Konsep “Geng Solo” muncul sebagai istilah populer sejak 2019 ketika Neta Pane menyoroti promosi beberapa perwira yang memiliki pengalaman bertugas bersama Jokowi di Solo. KBA menekankan bahwa istilah “geng” tidak menandakan organisasi formal, tetapi jaringan loyalis yang dibangun atas dasar pengalaman bersama, kepercayaan personal, dan penghargaan terhadap loyalitas melalui penempatan di posisi strategis, baik di TNI maupun Polri.

Kontrol Jokowi terhadap sektor pertahanan dan keamanan merupakan fondasi stabilitas politik yang sulit digoyahkan. Penempatan loyalis di pucuk pimpinan TNI/Polri tidak hanya memperkuat keamanan pemilu tetapi juga menekan potensi gangguan politik. Dalam kerangka teori hubungan sipil-militer, langkah ini konsisten dengan prinsip kontrol sipil terhadap militer yang dikelola melalui loyalitas personal dan jaringan, bukan sekadar birokrasi formal. Stabilitas ini memberi keuntungan ganda: pertama, mencegah eskalasi konflik politik. Kedua, menciptakan ruang gerak bagi strategi pemenangan calon yang berada dalam orbit Jokowi, seperti Gibran.

BACA JUGA :  Coretan Kecil tentang Wilson Lalengke, Suara Rakyat di Perserikatan Bangsa-Bangsa

Di ranah sosial, kekuatan Jokowi terletak pada ormas dan relawan yang dibentuk sejak 2013. Relawan Jokowi, yang melibatkan buruh, pemuda, komunitas daring, hingga tokoh adat, berkembang menjadi jaringan ormas pro Jokowi yang memproduksi narasi positif dan menyalurkan aspirasi rakyat. Fenomena ini sejalan dengan teori Pierre Bourdieu tentang “modal sosial,” di mana jaringan sosial dapat diterjemahkan menjadi kekuatan politik. Melalui Musyawarah Rakyat (Musra), forum tertinggi yang menaungi sekitar 18 kelompok relawan dan ormas, Jokowi mampu mengintegrasikan kontrol strategis atas basis massa dengan koordinasi partai politik. Musra tidak hanya menjadi platform legitimasi sosial, tetapi juga instrumen mobilisasi bottom-up yang memperkuat posisi politiknya di tingkat akar rumput.

Strategi Jokowi, menurut KBA, dapat dianalisis melalui empat pilar utama. Pertama, penguatan Geng Solo untuk mempertahankan kendali atas sektor pertahanan dan keamanan. Kedua, mobilisasi relawan dan ormas melalui Musra untuk memperkokoh dukungan sosial. Ketiga, pembangunan aliansi lintas sektor mulai dari buruh, pemuda, pelaku usaha mikro yang memperluas basis politik sekaligus membangun citra inklusif. Keempat, penguasaan perang informasi melalui Barisan Geng Solo (BGS), yang memastikan dominasi narasi di media sosial tetap berpihak pada Jokowi dan sekutunya. Keempat strategi ini bukanlah fragmen terpisah, melainkan jaringan taktis yang saling menguatkan, mencerminkan pendekatan adaptif ala Machiavelli, dimana kekuasaan tidak hanya dijaga melalui otoritas formal, tetapi juga melalui loyalitas, kontrol simbolik, dan pengelolaan persepsi publik.

BACA JUGA :  Ketika Kepolisian Daerah Bangka Belitung Ketakutan Terhadap Bandit dan Implikasinya bagi Masyarakat

Lebih jauh, strategi Jokowi juga mencerminkan filosofi politik paternalistik modern dengan pemberian fasilitas, promosi jabatan strategis, dan pendekatan personal yang menekankan loyalitas tegak lurus. Loyalis yang telah diangkat ke posisi tinggi bukan sekadar birokrat, tetapi agen yang memproduksi kebenaran politik versi Jokowi. Dalam terminologi etika politik, hal ini menegaskan bagaimana personalisasi kekuasaan dapat menjadi alat efektif untuk mempertahankan stabilitas sekaligus mengatur kompetisi politik.

Data empiris menunjukkan bahwa kombinasi strategi ini efektif. Selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, hampir seluruh infrastruktur politik berada dalam orbit kekuasaannya. Dominasi narasi dan loyalitas struktural memungkinkan Jokowi mengatur alur politik nasional, termasuk framing calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024. Strategi ini juga mempersiapkan panggung bagi Gibran, yang di Solo kini berada dalam posisi strategis untuk melanjutkan supremasi politik dinasti Solo, sekaligus menegaskan kontinuitas jaringan loyalitas yang telah dibangun.

BACA JUGA :  Pemerhati Intelijen : Aceh Harus Menemukan Jalan Tengah antara Hukum dan Perut Rakyat

Jika ditarik ke ranah teori politik, langkah Jokowi menunjukkan sinergi antara modal sosial, kontrol institusi, dan mobilisasi massa yang merupakan sebuah kombinasi yang dalam literatur demokrasi partisipatif dikategorikan sebagai hybrid strategy yang memadukan pendekatan formal-birokratis dengan mobilisasi informal berbasis loyalitas dan simbolisme. Strategi ini memungkinkan Jokowi mempertahankan relevansi politik meski secara formal ia tidak lagi menjabat presiden, sekaligus membangun warisan politik yang strategis untuk generasi penerus, seperti Gibran.

Kesimpulannya, strategi Jokowi untuk merebut kembali dan mempertahankan supremasi politik Solo adalah contoh konkret pengelolaan kekuasaan modern yang terukur. Ia memadukan loyalitas personal, kontrol institusi, mobilisasi sosial, dan penguasaan narasi digital menjadi sistem yang saling menguatkan. Fenomena Geng Solo, Musra, relawan, ormas, dan perang informasi bukan sekadar alat elektoral, tetapi fondasi struktural yang memungkinkan Jokowi menata ulang lanskap politik lokal maupun nasional. Analisis KBA menegaskan bahwa strategi ini bukan kebetulan, melainkan hasil perencanaan matang, adaptasi dinamis, dan pemahaman mendalam atas mekanisme kekuasaan di Indonesia. Dalam konteks ini, pemenangan Gibran bukan sekadar politik dinasti, tetapi hasil logika strategis jaringan yang telah teruji oleh waktu, loyalitas, dan kekuatan institusi.

Komentar