Opini
Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
ICJN, Aceh – Dalam panggung politik Indonesia, nama Joko Widodo tidak sekadar identik dengan kepemimpinan pragmatis dan populer, tetapi juga dengan kemampuan membangun jaringan kekuatan politik yang terstruktur dan terukur. Analisis Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) mengungkap dimensi strategis di balik keberhasilan Jokowi membangun dan mempertahankan supremasi politik Solo, yang kini tampak berlanjut melalui pemenangan Gibran. Fenomena ini menarik, karena menyentuh tataran politik personal, jaringan sosial, dan kontrol institusi formal yang merupakan satu paket yang mampu mengokohkan posisi Jokowi selama lebih dari satu dekade.
Secara historis, Solo menjadi laboratorium politik Jokowi. Di kota ini, ia tidak hanya membangun basis elektoral tetapi juga jaringan loyalitas yang melekat dalam struktur pemerintahan, keamanan, dan sosial. Konsep “Geng Solo” muncul sebagai istilah populer sejak 2019 ketika Neta Pane menyoroti promosi beberapa perwira yang memiliki pengalaman bertugas bersama Jokowi di Solo. KBA menekankan bahwa istilah “geng” tidak menandakan organisasi formal, tetapi jaringan loyalis yang dibangun atas dasar pengalaman bersama, kepercayaan personal, dan penghargaan terhadap loyalitas melalui penempatan di posisi strategis, baik di TNI maupun Polri.
















































Komentar