Mediasi Rasa Tipu-Tipu di PN Sorong: Bayar Dulu, Bukti Belakangan?

Opini226 Dilihat
banner 468x60

VOC, Sorong – Tokoh Pewarta Warga Indonesia, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., menumpahkan kritik tajam terhadap praktik mediasi perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Sorong dalam sebuah opini yang ia tulis pada Senin, 9 Juni 2025. Alumni Etika Global dan Etika Terapan dari tiga universitas ternama di Eropa—Universitas Utrecht (Belanda), University of Birmingham (Inggris), dan Linköping University (Swedia)—itu menyebut mediasi tersebut menyerupai praktik “membayar kucing dalam karung”.

banner 300250

Dalam tulisannya berjudul “Mediasi ala Bayar Kucing dalam Karung’ di PN Sorong”, Lalengke menyoroti kegagalan mediasi sebagai indikasi matinya prinsip transparansi dan keadilan substantif dalam sistem hukum.

BACA JUGA :  Sorotan Publik: Polisi Presisi Memberantas segala Kejahatan, Bukan Melakukan Tindak Kejahatan yang Memalukan Institusi Polri

“Jika keadilan tak bisa dicapai di meja mediasi, maka sia-sialah semua seruan moral dalam sistem hukum kita,” tegasnya.

Wilson Lalengke mengawali kritiknya dengan analogi sistem pemilu Orde Baru—di mana rakyat mencoblos lambang partai tanpa tahu siapa calon wakilnya—sebagai bentuk pengambilan keputusan yang penuh ketidakpastian dan jebakan. Ironisnya, pola lama itu kini menurutnya bermetamorfosis dalam dunia hukum modern: para pihak dalam perkara justru diminta ‘membayar’ untuk sesuatu yang tidak jelas legalitas dan objeknya.

BACA JUGA :  DANANTARA: Perawan di Sarang Penyamun

Kasus Tanah di Atas Laut

Kasus yang dimaksud adalah gugatan PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) terhadap Hamonangan Sitorus. Dalam proses mediasi, kuasa hukum penggugat menawarkan skema “bagi dua” lahan sengketa dan kompensasi sebesar Rp 2,5 miliar. Namun, mereka menolak menjelaskan dasar hukum atas klaim tersebut.

BACA JUGA :  Saat Pena Tak Lagi Menulis dengan Nurani

Komentar