Opini
Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
ICJN – Sejauh mata memandang, kemiskinan masih terhampar luas di negeri yang katanya merdeka. Di tanah yang pernah diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini kesejahteraan terasa seperti janji yang tak kunjung ditepati. Republik ini seolah berubah arah, dari negara hukum menjadi negara bandit.
Puisi Republik Bandit menelanjangi kenyataan itu dengan kejujuran yang pedih.
“Ada bandit kuasai eksekutif, ada bandit kuasai legislatif, ada bandit kuasai lembaga hukum.”
Kalimat itu bukan sekadar metafora, melainkan potret telanjang dari wajah kekuasaan hari ini. Korupsi bukan lagi kejahatan yang bersembunyi, tapi telah menjelma menjadi budaya yang dilembagakan yaitu legal dalam praktik, meski haram dalam nurani.
Kita hidup di sebuah republik yang diciptakan dari gagasan luhur tentang res publica yakni urusan publik, kekuasaan untuk rakyat. Tapi, dalam perjalanan panjang, makna itu dibajak. Kekuasaan kini menjadi milik segelintir orang yang memonopoli keputusan atas nama rakyat, namun memetik hasilnya untuk diri sendiri.
Data terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat lebih dari 1.800 kasus korupsi telah ditangani hingga 2025. Kasus mega korupsi di sektor energi dan tambang seperti PT Timah dan Pertamina menimbulkan kerugian negara ratusan triliun rupiah. Itu bukan sekadar angka, tapi cerita tentang sekolah yang tak jadi dibangun, rumah sakit yang kekurangan obat, dan jutaan rakyat kecil yang terus menunggu keadilan sosial yang tak kunjung datang.
Negara ini memang tak kekurangan undang-undang, tapi kekurangan teladan. Dari gedung parlemen hingga kantor kementerian, kekuasaan dijalankan dengan kesetiaan bukan kepada rakyat, melainkan kepada jaringan kepentingan. Bandit telah menjelma menjadi pejabat, dan pejabat pun banyak yang berperilaku seperti bandit.















































Komentar