Ketika Polri Jadi Parcok: Krisis Etika dan Bayang Kekuasaan

Opini93 Dilihat
banner 468x60

Naiknya Sigit sebagai Kapolri menandai era baru sentralisasi kekuasaan di tubuh kepolisian. Pola ini melahirkan struktur yang kaku, tertutup, dan hierarkis ekstrem. Banyak perwira berprestasi tersingkir karena tidak termasuk dalam lingkar kedekatan. Dalam situasi demikian, pendidikan kepolisian kehilangan maknanya sebagai pembentuk integritas. Ia berubah menjadi formalitas administratif untuk melegitimasi promosi yang telah ditentukan sebelumnya.

Krisis ini diperparah oleh peran politik Presiden Joko Widodo yang memanfaatkan Polri sebagai instrumen kekuasaan. Di bawah kepemimpinannya, Polri tidak hanya menjaga stabilitas keamanan, tetapi juga mengawal stabilitas politik. Dalam Pemilu 2024, banyak pengamat mencatat tanda-tanda ketidaknetralan aparat dalam menjaga proses demokrasi. Penegakan hukum menjadi selektif, tajam ke lawan, tumpul ke kawan. Maka tak heran bila kepercayaan publik terhadap Polri terus merosot.

banner 300250

Kritik terhadap Polri akhirnya mengarah ke dua figur utama yakni Jenderal Sigit dan Presiden Jokowi. Keduanya dianggap bertanggung jawab atas merosotnya independensi dan profesionalisme kepolisian. Kepemimpinan Sigit dinilai gagal menegakkan sistem meritokrasi dan memperkuat budaya patronase yang menggerogoti moral institusi. Sementara Jokowi dituding membiarkan Polri menjadi alat politik kekuasaan, bukan alat penegak hukum.

BACA JUGA :  Kegilaan yang Menyelamatkan Bangsa

Kini, ketika tampuk pemerintahan berada di tangan Presiden Prabowo Subianto, publik menunggu langkah berani: apakah ia akan berani menata kembali Polri ke rel yang benar, atau justru membiarkannya tetap menjadi perpanjangan tangan kekuasaan lama? Reposisi menjadi kata kunci. Presiden tidak bisa sekadar melakukan reformasi kosmetik, tetapi harus menata ulang arah moral dan sistem nilai di tubuh kepolisian. Itu berarti mengganti pimpinan yang kehilangan legitimasi publik, memutus rantai loyalitas politik, dan mengembalikan Polri ke fitrah konstitusionalnya.

Komentar