Kepemimpinan Inferiority Complex: Kritik atas Respons Pemerintah terhadap Bencana Sumatera

Artikel, Opini17 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Wilson Lalengke

ICJN, Jakarta – Bencana banjir bandang yang melanda Sumatera meninggalkan luka mendalam bagi jutaan warga. Ribuan meninggal dan hilang, rumah hanyut, keluarga terpisah, dan ribuan orang kehilangan mata pencaharian dalam sekejap. Di tengah kepanikan dan penderitaan itu, rakyat berharap negara hadir dengan cepat, tegas, dan penuh empati. Namun bagi banyak kalangan, harapan itu justru berubah menjadi kekecewaan mendalam.

banner 300250

Sejak hari-hari pertama bencana, kritik bermunculan dari berbagai penjuru. Banyak pihak menilai bahwa respons pemerintah pusat berjalan lambat dan tidak menunjukkan _sense of urgency_ yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin ketika rakyatnya berada dalam situasi hidup dan mati. Masifnya dampak bencana seolah tidak cukup untuk menggugah tindakan cepat yang dibutuhkan.

BACA JUGA :  Ketika Republik Disandera Bandit

Para korban yang terjebak di lokasi-lokasi terisolasi menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Relawan lokal bekerja tanpa henti, sementara publik mempertanyakan: di mana negara? Mengapa koordinasi begitu kacau? Mengapa keputusan-keputusan penting justru tertunda?

Tekanan publik semakin menguat ketika berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh kemanusiaan mendesak pemerintah untuk menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Status itu bukan sekadar simbolik; ia membuka akses logistik, anggaran, dan koordinasi lintas lembaga yang jauh lebih besar. Namun desakan itu tidak direspons. Pemerintah tetap bergeming, seolah tidak melihat skala penderitaan yang terjadi.

Komentar