Kepemimpinan Inferiority Complex: Kritik atas Respons Pemerintah terhadap Bencana Sumatera

Artikel, Opini19 Dilihat
banner 468x60

Kekecewaan publik semakin memuncak ketika beberapa negara sahabat, termasuk Malaysia, China, dan Rusia, menyatakan kesiapan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan. Di tengah situasi darurat, solidaritas internasional biasanya menjadi penyelamat. Namun kebijakan pemerintah justru membatasi masuknya bantuan asing. Banyak pengamat menilai keputusan ini kontraproduktif, bahkan membahayakan, karena menghambat upaya penyelamatan warga yang sedang berjibaku antara hidup dan mati.

Di saat rakyat menunggu tindakan nyata, yang muncul justru kebingungan dalam manajemen _disaster recovery_. Koordinasi antarinstansi tidak sinkron, distribusi bantuan tersendat, dan informasi resmi sering kali tidak jelas. Kekacauan ini menambah penderitaan warga yang sudah kehilangan segalanya.

banner 300250

Tak heran jika gelombang kritik semakin besar. Di media sosial, banyak warga menyuarakan kekecewaan mereka secara terbuka. Di luar negeri, beberapa media dan warganet dari negara lain ikut mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia yang dianggap tidak responsif terhadap tragedi kemanusiaan berskala besar. Kritik itu bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal empati, masih adakah nurani pemerintahan ini?

BACA JUGA :  Persoalan Tambang di Aceh, Lepas dari Mulut Buaya Diterkam Mulut Harimau

Sebagian pengamat menilai bahwa sikap keras kepala pemerintah dalam merespons bencana ini menunjukkan pola kepemimpinan yang lebih mementingkan citra dan ego daripada keselamatan rakyat. Ada yang berpendapat bahwa latar belakang militer sang presiden membuatnya cenderung melihat situasi melalui kacamata kekuasaan dan kontrol, bukan kemanusiaan.

BACA JUGA :  Terkait Gugatan Praperadilan terhadap Polisi di PN Sorong, Eksepsi Tergugat Ngawur bin Bungul

Di ruang publik, muncul pula analisis psikologis dari beberapa kalangan yang mencoba memahami pola pengambilan keputusan yang dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Mereka menyebut adanya kecenderungan pemimpin yang tampak ingin menunjukkan superioritas dan ketegasan, namun justru mengabaikan kebutuhan mendesak masyarakat. Beberapa pengamat mengaitkan pola ini dengan konsep psikologisnya Alfred Adler yang dikenal sebagai _inferiority complex_ yang dikompensasi dengan _superiority fantasies_, sebuah kondisi ketika seseorang merasa perlu menampilkan citra kekuatan berlebihan untuk menutupi kelemahan dan ketidakmampuan yang dirasakannya sendiri.

Komentar