Ketika Polri Jadi Parcok: Krisis Etika dan Bayang Kekuasaan

Opini92 Dilihat
banner 468x60

Opini

Penulis : Sri Radjasa, MBA (Pemerhati Intelijen)

banner 300250

ICJN – Seperempat abad setelah reformasi, cita-cita untuk menghadirkan Polri yang profesional, humanis, dan berjarak dari politik kekuasaan kian menjauh. Pemisahan Polri dari TNI di tahun 2000 diharapkan melahirkan aparat sipil yang melindungi rakyat, bukan menakut-nakuti mereka. Namun kini, lembaga itu justru kerap dilihat sebagai mesin kekuasaan yang menekan oposisi dan mengamankan kepentingan politik penguasa. Publik sinis menyebutnya “Parcok”, sebuah simbol bahwa penegakan hukum telah kehilangan makna moralnya.

BACA JUGA :  Sentralisasi Kekuasaan di Era Prabowo dan Ujian Keutuhan Nasional

Masalah Polri hari ini bukan sekadar deretan pelanggaran etik atau salah urus individu. Ia sudah menjadi krisis struktural dan etis. Di atas kertas, Polri memiliki sistem meritokrasi yang ideal: rekrutmen transparan, promosi berbasis kompetensi, dan pendidikan berjenjang. Namun praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. Di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sistem ini dibengkokkan oleh politik loyalitas. Kedekatan menjadi lebih berharga daripada prestasi, dan kepatuhan pada atasan lebih penting daripada keberanian menegakkan kebenaran.

Komentar