Opini
Oleh: Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
ICJN – Sejak runtuhnya Orde Baru, Indonesia memasuki era desentralisasi politik yang diyakini sebagai cara meredam ketegangan pusat-daerah dan memberi ruang bagi daerah untuk mengelola dirinya sendiri. Otonomi daerah menjadi titik balik setelah puluhan tahun kekuasaan terkonsentrasi di Jakarta. Namun setelah lebih dari dua dekade berjalan, desentralisasi ternyata tidak sepenuhnya menghasilkan tata kelola yang kuat. Korupsi lokal meningkat, kebijakan daerah kerap berseberangan dengan kebijakan nasional, dan muncul figur-figur “raja kecil” yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang patronase. Dalam konteks inilah kebijakan pemerintah Prabowo Subianto perlu dibaca bahwa resentralisasi yang muncul tidak lahir dari ruang kosong, tetapi sebagai respon atas kegagalan sebagian praktik otonomi di tingkat lokal.
Namun gejala penarikan kembali kewenangan ke pusat juga menimbulkan pertanyaan baru mengenai arah konsolidasi kekuasaan. Pemangkasan Dana Alokasi Umum dan pengetatan ruang fiskal daerah, pengambilalihan penyelesaian sengketa batas wilayah, serta konsolidasi politik di tingkat nasional, memberi sinyal bahwa pemerintah pusat sedang memperkuat kontrol struktural. Pemerintah beralasan langkah ini diperlukan untuk memastikan pembangunan berjalan seragam dan strategis, terutama dalam proyek besar dan sektor pertambangan serta energi. Namun lembaga kajian seperti CSIS mengingatkan bahwa sejarah Indonesia menunjukkan kemunculan gerakan separatis dan penolakan pusat seringkali bermula dari perasaan tersisih atau kehilangan kendali terhadap sumber daya di wilayah sendiri. Ketika daerah merasa diperlakukan sekadar sebagai pelaksana kebijakan, bukan mitra yang setara, maka luka kultural bisa tumbuh diam-diam.
Pada titik ini, persoalannya bukan sekadar apakah sentralisasi benar atau salah, melainkan bagaimana ia dijalankan. Sentralisasi yang dilakukan oleh negara dengan ruang dialog tertutup, tanpa transparansi, dan tanpa mekanisme partisipasi, akan melahirkan jarak. Di daerah-daerah dengan identitas lokal yang kuat, jarak itu dapat berubah menjadi kecurigaan, lalu menjadi resistensi. Namun jika penguatan pusat dilakukan dalam kerangka koreksi sistemik, disertai peningkatan kapasitas daerah, peningkatan tata kelola, dan jaminan bahwa aspirasi lokal tetap hidup, maka sentralisasi bukan ancaman, melainkan penataan ulang negara agar lebih efisien dan terarah.
Filosofisnya, negara tidak boleh hanya hadir sebagai tangan yang mengatur. Negara harus hadir sebagai ruang perjumpaan antara pusat dan daerah, antara identitas nasional dan kearifan lokal. Indonesia adalah bangsa yang berdiri bukan karena keseragaman, melainkan karena perjanjian kebangsaan untuk hidup bersama. Jika pusat mengambil tanpa memberi, daerah akan merasa terasing di dalam rumah sendiri. Tetapi jika pusat memimpin dengan mengayomi, memberi ruang bernapas pada lokalitas, dan memastikan pembangunan berjalan adil, maka negara justru menjadi lebih utuh.
Dengan demikian, tugas terbesar pemerintahan Prabowo bukan hanya merapikan struktur kekuasaan, tetapi menjaga rasa memiliki terhadap Indonesia tetap hidup di setiap wilayah. Bukan sentralisasi yang harus dihindari, tetapi sentralisasi yang tak memahami psikologi daerah. Bila hal itu diabaikan, resentralisasi bukan sekadar kebijakan administratif, tapi bisa menjadi awal tergerusnya kepercayaan, unsur paling mendasar dari persatuan. Indonesia pernah belajar bahwa kekuasaan yang terlalu terpusat melahirkan perlawanan. Kini, pelajaran itu menunggu, apakah akan dikenang, atau kembali diulang.

 


 
 
 
																				 
 
 






































Komentar