Sentralisasi Kekuasaan di Era Prabowo dan Ujian Keutuhan Nasional

banner 468x60

Pada titik ini, persoalannya bukan sekadar apakah sentralisasi benar atau salah, melainkan bagaimana ia dijalankan. Sentralisasi yang dilakukan oleh negara dengan ruang dialog tertutup, tanpa transparansi, dan tanpa mekanisme partisipasi, akan melahirkan jarak. Di daerah-daerah dengan identitas lokal yang kuat, jarak itu dapat berubah menjadi kecurigaan, lalu menjadi resistensi. Namun jika penguatan pusat dilakukan dalam kerangka koreksi sistemik, disertai peningkatan kapasitas daerah, peningkatan tata kelola, dan jaminan bahwa aspirasi lokal tetap hidup, maka sentralisasi bukan ancaman, melainkan penataan ulang negara agar lebih efisien dan terarah.

BACA JUGA :  Pemberitaan Media yang tidak Memegang Prinsip "Cover Both Side" Pasti Menyesatkan dan Merugikan

Filosofisnya, negara tidak boleh hanya hadir sebagai tangan yang mengatur. Negara harus hadir sebagai ruang perjumpaan antara pusat dan daerah, antara identitas nasional dan kearifan lokal. Indonesia adalah bangsa yang berdiri bukan karena keseragaman, melainkan karena perjanjian kebangsaan untuk hidup bersama. Jika pusat mengambil tanpa memberi, daerah akan merasa terasing di dalam rumah sendiri. Tetapi jika pusat memimpin dengan mengayomi, memberi ruang bernapas pada lokalitas, dan memastikan pembangunan berjalan adil, maka negara justru menjadi lebih utuh.

Komentar