Opini
Oleh : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
ICJN – Setelah dua dekade melewati masa damai, Aceh seolah sedang kembali mengulang sejarahnya sendiri. Jika dulu rakyat hidup dalam ketakutan karena konflik bersenjata, kini mereka hidup dalam kecemasan karena kekuasaan dan modal. Senjata memang sudah lama diam, tetapi bentuk penjajahan baru muncul dalam wajah yang berbeda yakni izin perusahaan tambang, surat rekomendasi, dan kolaborasi antara elit dan investor besar.
Persoalan tambang di Aceh ibarat kisah klasik yang terus berganti pemain, tetapi alurnya tak pernah berubah. Pejabat dan pengusaha besar datang membawa janji kesejahteraan, sementara rakyat kecil yang menjadi pemilik sah atas tanah dan alamnya hanya menjadi penonton dari cerita besar yang dimainkan atas nama pembangunan. Setelah lepas dari mulut buaya konflik, rakyat kini diterkam oleh mulut harimau ekonomi.
Kisah itu kini berulang di Aceh Selatan. Nama PT Empat Pilar Bumindo mencuat setelah disebut-sebut mengajukan permohonan rekomendasi ke sejumlah keuchik di Kecamatan Samadua untuk mendapatkan izin usaha pertambangan. Di permukaan, prosesnya tampak normatif, seolah mengikuti aturan yang berlaku. Namun di balik layar, kabar tentang dugaan intervensi pejabat lokal di kecamatan kepada Keuchik membuat rakyat resah dan kembali kehilangan kepercayaan pada kebijakan pemerintah yang dulu mereka harapkan berpihak kepada rakyat kecil.
Padahal, rakyat Aceh sempat menaruh harapan besar pada kepemimpinan Gubernur Mualem, yang di awal pemerintahannya tampil tegas menertibkan tambang ilegal. Tapi kini, arah kebijakan itu tampak kabur. Investor besar kembali masuk, membawa nama pejabat daerah dan pusat, bahkan disebut-sebut mencatut nama lingkaran presiden untuk melancarkan izin. Di sisi lain, ribuan penambang rakyat di Aceh Selatan masih bekerja dengan alat sederhana, tanpa perlindungan hukum, tanpa izin, dan tanpa kepastian.
Fakta ini menunjukkan bahwa politik tambang di Aceh masih dikendalikan oleh pola lama, izin sebagai alat kekuasaan, dan kekuasaan sebagai alat barter ekonomi. Dalam banyak kasus, rakyat justru menjadi korban dari dua sisi, di satu sisi mereka dikriminalisasi karena dianggap menambang ilegal, di sisi lain mereka disingkirkan oleh korporasi besar yang datang membawa kekuasaan dan modal.
Padahal, arah kebijakan nasional sudah berubah. Presiden Prabowo Subianto melalui Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 menegaskan bahwa sektor pertambangan harus diprioritaskan untuk koperasi, BUMD, dan ormas yang didampingi oleh universitas. Semangat kebijakan ini selaras dengan Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun implementasi di Aceh berjalan terbalik. Pemerintah daerah justru memberi ruang luas dan karpet kepada investor besar, sementara hak rakyat untuk mengelola tambang melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) nyaris tidak disentuh. Hingga kini, pemerintah belum juga menetapkan WPR di Aceh Selatan, Aceh Barat, dan kabupaten lain, meski ribuan penambang rakyat telah lama menggantungkan hidup di sektor itu.
Data Kementerian ESDM tahun 2024 menunjukkan bahwa dari total 96 izin tambang di Aceh, lebih dari 70 persen dikuasai oleh perusahaan non- lokal. Hanya sebagian kecil yang melibatkan koperasi atau BUMD. Sementara lebih dari 5.000 penambang rakyat masih bekerja di area tambang tradisional tanpa izin resmi. Ketimpangan ini menjadi bukti nyata bahwa narasi “investasi untuk rakyat” belum pernah benar-benar menyentuh rakyat.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks otonomi Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan luas untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. Namun kewenangan itu justru sering disalahgunakan, berubah menjadi alat kompromi politik antara elit lokal dan korporasi besar. Kedaulatan Aceh atas sumber daya alam, yang seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, kini hanya menjadi simbol tanpa makna.
Dari sisi etika pemerintahan, penggunaan nama pejabat untuk melicinkan izin tambang bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap prinsip good governance. Pemerintah seharusnya menegakkan asas transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada kepentingan publik. Jika kekuasaan digunakan untuk memberi karpet merah bagi oligarki, maka rakyat akan kembali merasa ditipu oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Filsuf ekonomi Mohammad Hatta pernah menulis bahwa demokrasi ekonomi hanya mungkin hidup bila rakyat diberi ruang untuk mengelola sumber daya secara bersama dan berkeadilan. Tanpa itu, kekayaan alam hanya akan menjadi alat pemerasan oleh segelintir orang. Pandangan itu kini terasa sangat relevan bagi Aceh, di mana rakyat yang menjaga alam justru disingkirkan dari haknya sendiri.
Dampak dari ketimpangan pengelolaan tambang bukan hanya sosial, tetapi juga ekologis. Kajian WALHI Aceh tahun 2023 mencatat, laju deforestasi akibat tambang besar di wilayah tengah dan barat Aceh mencapai 8.000 hektar per tahun. Kerusakan ini memperparah banjir dan longsor yang kini kerap melanda wilayah pesisir selatan. Ironisnya, mereka yang menjadi korban bencana adalah rakyat yang sama yakni penambang kecil, petani, dan nelayan yang kehilangan lahan dan mata pencaharian.
Rakyat Aceh tidak membutuhkan investor yang datang dengan janji-janji manis dan surat izin yang dirangkai pemerintah. Mereka butuh pemerintah yang berpihak, yang menyiapkan WPR, yang mendampingi koperasi, dan yang melibatkan universitas atau asosiasi untuk mengembangkan teknologi pengolahan emas ramah lingkungan. Mereka tidak menuntut bagian dari saham tambang, mereka hanya ingin kesempatan untuk hidup dari tanah sendiri, tanpa takut ditangkap atau diusir.
Persoalan tambang di Aceh sejatinya adalah cermin dari ketimpangan kekuasaan. Ketika pejabat dan investor berdiri di satu sisi, dan rakyat di sisi lain, maka hukum dan kebijakan hanyalah alat untuk memperkuat yang kuat dan menyingkirkan yang lemah. Jika arah ini tidak segera dikoreksi, maka Aceh akan kembali terjebak dalam lingkaran kutukan sumber daya alam, kaya bahan tambang, tapi miskin keadilan.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh mengembalikan makna sejati dari otonomi, kekuasaan untuk memperjuangkan rakyat, bukan memperdagangkannya. Moratorium izin bagi investor besar harus dilakukan, sambil mempercepat penetapan WPR dan penguatan BUMD. Hanya dengan itu Aceh dapat keluar dari jerat buaya dan harimau yang selama ini menghisap kekayaannya.
Rakyat Aceh sudah terlalu lama menunggu keadilan. Mereka tidak ingin perang baru, mereka hanya ingin kejujuran dari pemimpin yang mereka percayai. Karena perdamaian sejati tidak lahir dari senjata yang diam, melainkan dari keadilan yang hidup. Jika kekuasaan kembali berpihak kepada segelintir orang, maka sejarah akan menulis bahwa setelah lepas dari mulut buaya konflik, Aceh benar-benar diterkam oleh mulut harimau kekuasaan ekonomi.







































Komentar