Selepas berinteraksi dengan Radit. Menteri Mu’ti meminta anak-anak membuat pantun bertema buah-buahan. Tak berapa lama, seorang anak bernama Denas maju ke mimbar, diiringi tepuk tangan meriah. “Siapa namanya. Dari sekolah mana?” tanya Menteri Mu’ti penasaran. Anak itu menjawab dengan semangat, “Denas!”
Dengan penuh percaya diri, dua baris kalimat pembuka meluncur dari Denas.
“Beli buah ke pasar…”
“Tidak lupa menemui Radit.”
Di sinilah keseruan dimulai. Setelah menyebut nama Radit, Denas terdiam. Matanya menatap ke atas, mencari diksi rima yang pas untuk melanjutkan bait tersebut.
Radit yang dimaksud Denas adalah teman sekelasnya—seorang anak yang berani maju ke depan karena bercita-cita menjadi Profesor dan Dosen, persis seperti gelar akademis yang melekat pada Pak Menteri.
Denas, si pembuat pantun, kini terjebak di tengah panggung. Melihat Denas kesulitan, Menteri Mu’ti segera mengambil alih mikrofon. “Siapa temannya Denas yang bisa bantu? Kita bikin pantun kolaborasi!” serunya.




















































Komentar