Ketika diminta menunjukkan legalitas tanah atau akta hak milik, jawaban mereka mengambang: “Itu materi pokok perkara.”
“Logika hukumnya absurd: meminta lawan untuk membayar miliaran, tapi tidak mau menunjukkan akta hak milik. Ini bukan hanya melecehkan akal sehat, tetapi juga menyalahi prinsip paling dasar dalam mediasi—transparansi dan itikad baik,” tulis Wilson Lalengke.
Lebih mengejutkan lagi, hakim mediator, Rivai Rasyid Tukuboya, S.H., dinilai tidak mendorong keterbukaan. Mediasi malah diarahkan segera ke persidangan pokok perkara. Bagi Lalengke, sikap ini mengaburkan fungsi mediasi sebagai ruang pencarian solusi berbasis kejujuran dan saling pengertian.
Permintaan tergugat, Hamonangan Sitorus, menurut Lalengke, sangat rasional: cukup ingin tahu posisi objek tanah yang disengketakan. Berdasarkan data, lahan yang dimaksud justru berada di atas laut.
“Bagaimana mungkin ada hak milik atas kawasan laut? Ini menunjukkan klaim yang tidak masuk akal,” kritiknya tajam.
Etika dalam Sidang: Hanya Formalitas?
Sebagai akademisi di bidang etika terapan, Lalengke menyatakan bahwa mediasi bukanlah sekadar proses formal. Ia adalah forum moral di mana semua pihak seharusnya terbuka dan beritikad baik.





















































Komentar