Konflik Agraria Papua: Tanah Adat dan Jejak Mafia Tanah di Sorong

banner 468x60

Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., angkat bicara menanggapi kasus pencabutan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Adat Marga Bewela oleh Willem RN Buratehi di Sorong, Papua Barat Daya. Menurutnya, kasus ini adalah potret nyata lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak masyarakat adat.

“Apa yang dilakukan Willem RN Buratehi Bewela sangat penting dan patut diapresiasi. Ia berani mencabut pelepasan hak yang cacat hukum, sekaligus menegaskan kembali bahwa tanah adat tidak boleh dipermainkan oleh mafia tanah, pejabat, maupun pihak yang bersembunyi di balik dokumen administratif,” ujar Wilson Lalengke dalam pernyataan resminya, Senin, 15 September 2025.

banner 300250

Pria yang sedang menggagas berdirinya BPN Wacht itu menilai kasus ini memperlihatkan modus lama yang terus berulang: masyarakat adat dipaksa atau dibodohi menandatangani dokumen, lalu tanah mereka beralih ke pihak lain. “Ini adalah pola mafia tanah klasik. Mereka mengandalkan kelemahan literasi hukum masyarakat adat, lalu membuat dokumen pelepasan yang seolah sah. Padahal, dari sisi adat maupun hukum positif, banyak yang cacat formil maupun materil,” tegas Wilson Lalengke.

BACA JUGA :  Pantai Wisata Jerangkat Dirongrong Penambang Ilegal, Publik Menyorot Tajam Kinerja APH di Parittiga, Jebus

Ia menambahkan, jika dibiarkan, praktik semacam ini akan terus merugikan masyarakat adat di Papua dan memperuncing konflik horizontal. Sebagai alumni Lemhannas yang banyak mengkaji persoalan strategis kebangsaan, Wilson Lalengke menekankan bahwa negara harus hadir dalam konflik tanah adat.

“Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 jelas mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Artinya, negara punya kewajiban konstitusional untuk melindungi tanah adat dari perampasan. Kasus Tanah Adat Marga Bewela ini seharusnya jadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan pusat,” imbuh Wilson Lalengke.

BACA JUGA :  Dapat Mandat PPWI, KRT. Ardhi Solehudin Siap Pimpin Konsolidasi Pewarta Warga di Jawa Tengah

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan dari BPN dan pemerintah daerah dalam mengadministrasikan tanah ulayat. Menurutnya, celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum mafia tanah.

Sehubungan dengan pernyataan dan penegasan Willem RN Buratehi Bewela dalam berkas pencabutan hak atas tanah adat, Wilson Lalengke mendesak aparat penegak hukum segera menindaklanjuti dugaan manipulasi dan pembohongan yang dialami Willem. “Jika benar ada unsur penipuan, pemalsuan dokumen, atau perbuatan melawan hukum, maka pelakunya harus diproses pidana. Jangan sampai masyarakat adat terus menjadi korban tanpa ada perlindungan,” sebutnya.

BACA JUGA :  Ketua Umum PPWI Siap Memenuhi Undangan Divpropam Polri Terkait Laporan Dugaan Pelanggaran Etik oleh Oknum Polisi Polda Sumsel

Selain itu, ia juga mendorong Lembaga Adat Malamoi untuk lebih aktif mengawal kasus ini, sekaligus memastikan setiap pelepasan tanah adat mendapatkan legitimasi adat yang kuat sebelum masuk ke ranah hukum nasional. “Kasus Tanah Adat Bewela ini bukan sekadar sengketa tanah. Ini adalah pertarungan antara mafia tanah dengan marwah adat dan konstitusi negara. Jika negara terus abai, maka kita semua sedang menyaksikan pengkhianatan terhadap amanat UUD 1945. Karena itu, lawan mafia tanah, lindungi hak-hak masyarakat adat!” tegas Wilson Lalengke menutup keterangannya. (SAD/Red)

Komentar