Ketika Polri Jadi Parcok: Krisis Etika dan Bayang Kekuasaan

Opini94 Dilihat
banner 468x60

Langkah itu mungkin tidak populer, bahkan berisiko politik. Namun sejarah menunjukkan, bangsa tidak pernah maju tanpa keberanian moral. Reposisi Polri bukan soal balas dendam atau perebutan pengaruh, melainkan upaya menyelamatkan marwah hukum dari cengkeraman kekuasaan. Presiden Prabowo harus berani mengambil jarak moral dari warisan cawe-cawe Jokowi jika ingin menegakkan kedaulatan hukum yang sejati.

Filsuf Hannah Arendt pernah menulis, kekuasaan tanpa etika hanyalah kekerasan yang dilembagakan. Polri kini berada di tepi jurang itu, memegang kekuasaan besar, tapi kehilangan kendali moral. Padahal, legitimasi lembaga penegak hukum tidak lahir dari senjata, melainkan dari kepercayaan rakyat. Polisi bukan hanya aparat hukum, melainkan penjaga peradaban sipil.

banner 300250

Menata Polri berarti menata kembali moral negara. Reformasi tidak cukup jika tidak diikuti keberanian etik untuk menolak intervensi politik. Bangsa ini butuh polisi yang berani menegakkan hukum, bukan menegakkan perintah. Polisi yang berdiri di sisi rakyat, bukan di belakang penguasa.

BACA JUGA :  Konflik Agraria Papua: Tanah Adat dan Jejak Mafia Tanah di Sorong

Dan ketika publik bertanya, “Siapa yang salah ketika Polri jadi parcok?”, jawabannya tak lagi sederhana. Yang salah bukan hanya orangnya, tapi juga keberanian kita sebagai bangsa untuk berkata cukup, yaitu cukup bagi politik yang mencengkeram hukum, cukup bagi kekuasaan yang menodai seragam pengayom rakyat. Sebab hanya dengan keberanian moral itulah Polri bisa kembali menjadi milik rakyat, bukan milik kekuasaan. (*)

Komentar