*Konservasi Terumbu Karang Lewat Pembelajaran Bermakna*
Juara kedua, Didi Setiadi dari SMKN 61 Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, membawa dimensi berbeda dengan mengimplementasikan teknik transplantasi terumbu karang melalui pembelajaran berbasis proyek. “Saya ingin murid tidak hanya memahami teknik transplantasi sebagai bagian dari usaha rehabilitasi lingkungan, tetapi juga memiliki kepedulian dan tanggung jawab menjaga lingkungan,” ujar Didi.
Pembelajaran diintegrasikan dalam Proyek IPAS dengan metode Project Based Learning (PjBL). “50% murid sekolah saya adalah anak dari daratan Jakarta yang banyak belum bisa berenang dan snorkeling. Saat pelaksanaan proyek di laut mereka sangat senang karena bisa belajar sambil bermain,” cerita Didi.
Perubahan nyata terlihat pada motivasi belajar yang meningkat, pemahaman konsep yang lebih baik, kolaborasi yang terjalin, serta terbentuknya mental murid dalam menyikapi isu kerusakan lingkungan. “Sekarang banyak murid yang sudah mahir berenang dan _snorkeling_, dan selalu semangat kalau diajak belajar praktik di laut,” tambahnya.
Tantangan terbesar adalah kebutuhan sarana prasarana seperti pembuatan rak terumbu karang dan peralatan _survival_ perairan. Didi mengatasinya dengan bekerja sama dengan jurusan lain dan Pusat Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PBKL) untuk pengadaan bibit, serta memanfaatkan hasil praktik siswa jurusan teknik untuk membuat rak transplantasi.
Rencana ke depan, Didi ingin membuka taman karang hasil transplantasi sebagai objek wisata snorkeling untuk wisatawan sekaligus pusat informasi konservasi ekosistem terumbu karang.
*Inovasi Digital untuk Industri 5.0*
Juara ketiga, Gita Wulandari dari SMKN 2 Lubuklinggau, Sumatera Selatan, mengembangkan AI chatbot untuk layanan _front office_ hotel dan pemasaran berbasis _virtual reality_. “Produk kewirausahaan siswa di jurusan perhotelan masih bersifat konvensional sedangkan dunia industri bergerak ke arah 5.0,” papar Gita.
Inovasi dimulai dari riset pasar terkait proses kerja perhotelan yang bisa diberikan solusi digital. Siswa merancang alur percakapan dengan _Dialogflow_, kemudian _chatbot_ dirancang dengan metode RAG (_Retrieval Augmented Generation_). Untuk _virtual reality_, siswa mengubah pemasaran yang selama ini menggunakan brosur konvensional menjadi media _virtual reality_ yang ditampilkan dalam video _virtual walk through_.
“Perubahannya adalah mindset siswa bahwa produk kreatif dan kewirausahaan bukan hanya produk fisik tetapi juga produk digital yang nilai ekonominya lebih tinggi,” kata Gita.





















































Komentar