Hidayat, PT MSP, dan Bayang-Bayang Kekuasaan: Siapa Berani Menyentuh ‘Keluarga Istana

Opini195 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Rikky Fermana, S.IP., C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW

ICJN, Bangka Belitung – Saat Presiden Prabowo Subianto dengan tegas memberi amanat kepada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Hidayat Arsani, untuk memutus mata rantai penyelundupan pasir timah yang selama ini telah menjadi luka lama di negeri penghasil logam strategis itu, publik menyambut dengan harapan besar. Harapan bahwa di bawah kepemimpinan nasional yang kuat dan regional yang responsif, praktik culas para mafia timah bisa dihentikan. Namun, kenyataan tak semudah retorika.

banner 300250

Dalam konferensi pers pasca pelantikan pada 17 April 2025, Hidayat, yang dijuluki Panglima Dayat, dengan lantang menyatakan akan membentuk tim terpadu. Tak hanya melibatkan TNI, Polri, dan Satpol PP, tetapi juga melibatkan tokoh masyarakat dari tingkat desa hingga kota. Janjinya terdengar heroik: menjaga seluruh pelabuhan, menutup celah penyelundupan dari desa, kecamatan, hingga kabupaten. Namun, sebulan lebih berlalu, dan yang terlihat justru paradoks: penyelundupan tetap berjalan, mafia tetap bebas, dan hanya aktor-aktor kecil seperti sopir truk yang menjadi tumbal hukum.

BACA JUGA :  Sentralisasi Kekuasaan di Era Prabowo dan Ujian Keutuhan Nasional

Yang lebih mengejutkan, sorotan publik kini tertuju pada salah satu pemain besar dalam industri smelter di Bangka Belitung: PT Mitra Stania Prima (MSP). Perusahaan ini santer disebut-sebut berada dalam jejaring bisnis keluarga Presiden sendiri, melalui adiknya Hasyim Djojohadikusumo dan keponakan Harwendro Adityo Dewanto. Dugaan ini bukan isapan jempol semata. Indikasi bahwa PT MSP menampung pasir timah dari Pulau Belitung yang kemudian dikirim ke Bangka, bahkan dengan dokumen yang meragukan, mencuat ke permukaan dengan frekuensi yang tak bisa diabaikan.

BACA JUGA :  Mediasi ala 'Bayar Kucing dalam Karung' di PN Sorong

Pertanyaannya, akankah Gubernur Hidayat benar-benar berani menindak perusahaan yang diduga memiliki afiliasi dengan kekuasaan tertinggi negara? Beranikah ia memanggil manajemen PT MSP untuk dimintai pertanggungjawaban, untuk diperiksa RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang menjadi mitranya, serta mengecek apakah asal pasir timah yang ditampung benar-benar berasal dari sumber legal? Atau seperti pepatah lama: “Seorang panglima tak akan berani melawan rajanya”?

BACA JUGA :  Saat Pena Tak Lagi Menulis dengan Nurani

Kekhawatiran ini tidak mengada-ada. Praktik penyelundupan pasir timah antar pulau, khususnya dari Pulau Belitung ke Bangka, sudah lama diketahui publik. Bahkan para pelaku di lapangan sudah hafal lubang-lubang regulasi yang bisa dimanfaatkan. Modusnya? Dokumen kerjasama kemitraan dengan IUP resmi, tapi barang yang dipasok berasal dari penambangan liar. Pasir timah dikirim seolah-olah legal, kemudian dilebur dan dijadikan balok timah—produk akhir yang sulit ditelusuri asal-usulnya.

Komentar