KOPII, Sorong – Sengketa lahan yang melibatkan PT Bagus Jaya Abadi (BJA) di Pengadilan Negeri Sorong kini memasuki babak baru yang mengundang tanda tanya serius terkait dasar klaim hak atas tanah. Dalam sidang mediasi pertama yang digelar pada Senin (26/05/2025), fakta mengejutkan terungkap dari pernyataan langsung kuasa hukum PT BJA, Albert Frasstio, usai sidang.
Frasstio menyatakan bahwa hingga saat ini PT BJA belum memiliki sertifikat apapun — baik Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), apalagi Hak Milik (HM) — atas lahan yang menjadi objek sengketa dengan pihak Hamonangan Sitorus, pemilik sah yang digugat perusahaan itu.
Rekaman video pernyataan PT. Bagus Jaya Abadi dapat dilihat di sini: https://youtu.be/k84i1t5ggHM?si=gD8NJESKCcc2IfP9
“Dari pernyataan yang disampaikan pengacara PT BJA sendiri, dapat disimpulkan bahwa perusahaan tersebut belum memiliki dokumen legal formal terkait status kepemilikan atas tanah yang diklaim oleh klien mereka, Paulus George Hung alias Ting-Ting Ho alias Mr. Ching,” terang salah satu sumber informasi yang mengikuti jalannya persidangan sejak awal, pada Jumat, 6 Juni 2025, kepada media ini.
Fakta itu sontak menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa sengketa lahan tanpa bukti kepemilikan formal dapat diterima dan diproses oleh pengadilan? Banyak pihak menyayangkan langkah PN Sorong yang dinilai terlalu longgar dalam menyaring syarat administratif sebelum menerima gugatan yang menyangkut kepemilikan tanah.
“Ini aneh dan sangat disayangkan. Bagaimana mungkin pengadilan bisa memproses perkara sengketa kepemilikan tanah, sementara pihak yang mengklaim tidak memiliki sertifikat atau dokumen apapun yang diakui negara?” ujar salah satu pegiat hukum pertanahan yang tak mau disebutkan namanya.
Ia menambahkan, dalam prinsip hukum perdata maupun agraria di Indonesia, hak atas tanah harus didukung oleh bukti yang sah secara hukum, termasuk sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Gugatan tanpa dasar hukum yang kuat, terutama tanpa sertifikat, berisiko menyesatkan proses keadilan dan menciptakan ketidakpastian hukum.















































Komentar